Tidak mengakui Al-Quran dan
Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Ketika orang-orang tidak
menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum dan tidak mencari
keadilan berdasarkan keduanya, dengan dalih bahwa keduanya tidak memadai dan
relevan lagi, bahkan mereka mengabaikan keduanya dan berpegang pada pendapat
manusia, analogi, istihsan (anggapan
baik terhadap suau perkara), maupun pendapat para ulama, maka timbullah kerusakan
dalam fitrah mereka, dan ketumpulan pada akal mereka.
Semua itu telah mewabah dan
merajalela ditengah-tengah kehidupan mereka, dan berlangsung dalam kurun waktu
yang sangat lama, sejak anak-anak masih kecil sampai dewasa pun menjadi tua. Ironisnya,
mereka tidak menilai perbuatan tersebut sebagai suatu kemunkaran.
Tidak lama kemudian, muncullah
kekuasaan lain yang menyulap bid’ah menjadi sunnah, syahwat menjadi akal, hawa
nafsu menjadi petunjuk, kesesatan menjadi tuntunan, yang munkar menjadi yang ma’ruf,
kebodohan menjadi ilmu, riya’menjadi ikhlas, yang bathil menjadi haq,
kebohongan menjadi kejujuran, menjilat menjadi nasehat, dan kezhaliman menjadi
keadilan.
Perilaku buruk seperti itulah
yang akhirnya berkuasa dan membudaya dan para pelakunya pun ditunjuk sebagai
teladan dan pemimpin. Padahal, sebelumnya, perilaku yang berkuasa adalah
perilaku sebaliknya dan orang-orang yang mempraktikan perilaku sebaliknya juga
yang ditunjuk sebagai teladan dan pemimpin.
Apabila anda melihat perilaku
buruk macam itu telah berkuasa dan melembaga, bendera-benderanya dimana-mana,
dan pasukannya telah terstruktur sedemikian rupa, maka demi Allah, perut bumi
lebih baik untuk dihuni daripada tanah datar, dan bergaul dengan puncak gunung
lebih baik daripada tanah datar dan bergaul dengan binatang buas lebih baik
daripada bersosialisasi dengan sesama manusia.
(Fawaid_PIS_hal;608)